Dalam Shifatus Shofwah oleh
Ibnul Jauzi dan Masyaraqiul Asywaq oleh Ibnu Nahhas dikisahkan
seorang salih yang bernama Abu Qudamah Asy-Syami.
Abu Qudamah adalah seorang yang
hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad fi sabilillah. Tak pernah ia
mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya perang antara kaum
muslimin dengan orang kafir, kecuali ia selalu ambil bagian bertempur di pihak
kaum muslimin.
Suatu ketika saat ia sedang
duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya
berakta, “Hai Abu Qudamah, Anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan
Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam
berjihad.”
“Baiklah, aku akan menceritakannya
bagi kalian,” kata Abu Qudamah.
“Suatu ketika aku berangkat bersama
beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat
perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqh (sebuah kota di Irak,
dekat sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk
membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat
masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak fi sabilillah.
Menjelang malam harinya, ada orang
yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang
menutupi wajahnya dengan gaunnya.
“Apa yang Anda inginkan?” tanyaku.
“Benar,” jawabku.
“Andakah yang hari ini mengumpulkan
dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik
kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, “Anda
mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tak sanggup untuk itu. Maka
kupotong dua buah kuncir kesayanganku agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda.
Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku
karenanya.”
“Demi Allah, aku kagum atas semangat
dan kegigihan wanita itu untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya
untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya,” kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku bersama
sahabatlu beranjak meninggalkan Raqh. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin
Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang
memanggil-manggil,
“Hai Abu Qudamah.. Abu Qudamah..
tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” teriak orang itu.
“Kalian berangkat saja duluan, biar
aku yang mencari tahu tentang orang ini,” perintahku pada para sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang
itu mendahuluiku dan mengatakan,
“Segala puji bagi Allah yang
mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak keikutsertaanku.”
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi
orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin
lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima.
Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” Kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya,
tampak olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih
muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai anakku, apakah kamu memiliki
ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di tangan kaum
Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh
ayahku,” jawabnya.
“Bagaimana dengan ibumu, masih
hidupkah dia?” tanyanku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia
baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tak kenal ibuku?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik titipan itu,”
katanya.
“Titipan yang mana,” tanyaku.
“Dialah yang menitipkan tali kuda
itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku
keheranan.
“Subhanallah..!! alangkah
pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang tadi malam menyerahkan
seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya, aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk
berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,”
katanya.
“Ibuku berkata, ‘Wahai anakku, jika
kamu telah berhadapan dengan musuh, janganlah kamu melarikan diri.
Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan
mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di surga. Jika
Allah mengaruniamu mati syahid, maka mintalah syafaat bagiku.”
Kemudian ibu memelukku, lalu
menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah
puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan ia untukmu, maka
dekatkanlah ia dengan ayahnya’.”
“Aku benar-benar takjub dengan anak
ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
“Karenanya, kumohon atas nama Allah,
janganlah kau halangi aku untuk berjihad bersamamu. Insya Allah akulah
asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal Alquran. Aku juga pandai
menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku
yang masih belia.” kata anak itu memelas.
Setelah itu mendengar uraiannya aku
tak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata tak pernah
kulihat orang yang lebih cekatan darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang
tercepat, ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk
mengurus kami, sedang lisannya tak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.
Kemudian, kami pun singgah di suatu
tempat dekat pos perbatasan. Saat itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam
keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan
makan malam, bocah itu bersumpah atas nama Allah bahwa ialah yang akan
menyiapkannya. Tentu saja kami melarangnya karena ia baru saja kecapaian selama
perjalanan panjang tadi.
Akan tetapi bocah itu bersikeras
untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Lama kami beristirahat di suatu tempat,
kami katakan kepadanya, “Menjauhlah sedikit agar asap kayu bakarmu tidak
mengganggu kami.”
Maka bocah itu pun mengambil tempat
yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi bocah itu tak kunjung tiba.
Mereka merasa bahwa ia agak terlambat menyiapkan hidangan mereka.
“Hai Abu Qudamah, temuilah bocah
itu. Ia sudah terlalu lama memasak. Ada apa dengannya?” pinta seseorang
kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati bocah itu telah
menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tapi karena terlalu
lelah, ia pun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.
Melihat kondisinya yang seperti itu,
sungguh demi Allah aku tak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tak
mungkin kembali kepada mereka dengan tangan hampa, karena sampai sekarang kami
belum menyantap apa-apa.
Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan
makanan itu sendiri. Aku pun mulai meramu masakannya, dan sembari menyiapkan
masakan, sesekali aku melirik bocah itu. Suatu ketika terlihat olehku bahwa
bocah itu tersenyum. Lalu perlahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia
tertawa kegirangan.
Aku merasa takjub melihat tingkahnya
tadi, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.
Ketika melihatku menyiapkan masakan
sendiran, ia nampak gugup dan buru-buru mengatakan,
“Paman, maafkan aku, nampaknya aku
terlambat menyiapkan makanan bagi kalian.”
“Ah tidak, kamu tidak terlambat
kok,” jawabku.
“Sudah, tinggalkan saja masakan ini,
biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad,” kata
bocah itu.
“Tidak,” sahutku, “Demi Allah, kau
tak kuzinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai kau ceritakan kepadaku apa
yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh mengherankan,”
lanjutku.
“Paman, itu sekedar mimpi yang
kulihat sewaktu tidur,” kata si bocah.
“Mimpi apa yang kau lihat?” tanyaku.
“Sudahlah, tak usah bertanya
tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah,” sahut bocah itu.
“Tidak bisa, kumohon atas nama Allah
agar kamu menceritakannya,” kataku.
“Paman, dalam mimpi tadi aku melihat
seakan aku berada di surga, kudapati surga itu dalam segala keindahan dan
keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam Alquran.
Sembari aku jalan-jalan di dalamnya
dengan terkagum-kagum, tiba-tiba tampaklah olehku sebuah istana megah yang
berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, dan terasnya dari mutiara dan batu
permata, dan gerbangnya dari emas.
Di teras itu ada tirai-tirai yang
terjuntai, lalu perlahan tirai itu tersingkap dan tampaklah gadis-gadis belia
nan cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan.”
Kutatap wajah-wajah cantik itu
dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, gumamku, lalu
muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya
ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan,
“Inilah (calon) suami al-mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya..
benar, dialah orangnya!”
Aku tak paham siapa itu al-mardhiyyah,
maka aku bertanya kepadanya, “Kamukah al-mardhiyyah..?
“Aku hanyalah satu di antara
dayang-dayang al-mardhiyyah…” katanya. “Anda ingin bertemu
dengan al-mardhiyyah..?” tanya gadis itu.
“Kemarilah.. masuklah ke sini,
semoga Allah merahmatimu,” serunya.
Tiba-tiba kulihat di atasnya ada
sebuah kamar dari emas merah.. dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan
permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis belia
dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan
penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa
menatap kecantikkannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku
seraya berkata, “Selama datang, hai wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan
untukmu, dan engkau adalah milikku.”
Mendengar suara merdu itu, aku
berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum tanganku sampai
kepadanya, ia berkata,
“Wahai kekasihku dan tambatan
hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia
masih tersisa sedikit.. InsyaAllah besok kita bertemu selepas ashar.”
Aku pun tersenyum dan senang
mendengarnya.”
Abu Qudamah melanjutkan, “Usai
mendengar cerita indah dari si bocah tadi, aku berkata kepadanya, “InsyaAllah
mimpimu merupakan pertanda baik.”
Lalu kami pun menyantap hidangan
tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.
***
Sumber: Ibunda Para
Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan,
Wafa Press, Cetakan Pertama Ramadhan 1427 H / Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar