Abu Qudamah melanjutkan, “Usai
mendengar cerita indah dari si bocah tadi, aku berkata kepadanya, “InsyaAllah
mimpimu merupakan pertanda baik.”
Lalu kami pun menyantap hidangan
tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.
Setibanya di pos perbatasan kami
menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan harinya setelah
menunaikan shalat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran untuk menghadapi
musuh.
Sang komandan bangkit untuk mengatur
barisan. Ia membaca permulaan surat Al-Anfal. Ia mengingatkan kami akan
besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid, sembari
terus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.”
Abu Qudamah mengisahkan, “Tatkala
kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati masing-masing dari mereka
mengumpulkan sanak kerabatnya di sekitarnya. Adapun si bocah, ia tak punya ayah
yang memanggilnya, atau paman yang mengajaknya, dan tidak pula saudara yang
mendampinginya.
Aku pun terus mengikuti dan
memperhatikan gerak-geraknya, lalu tampaklah olehku bahwa ia berada di barisan
terdepan. Maka segeralah kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga
sampai kepadanya, kemudian aku berkata,
“Wahai anakku, adakah engkau
memiliki pengalaman berperang..?”
“Tidak.. tidak pernah. Ini justru
pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,” jawab si bocah.
“Wahai anakku, sesungguhnya perkara
ini tak segampang yang kau bayangkan, ini adalah peperangan. Sebuah pertumpahan
darah di tengah gerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil
posisi di belakang saja. Jika kita menang kaupun ikut menang, namun jika kita
kalah kau tak jadi korban pertama,” pintaku kepadanya.
“Ya, aku mengatakan seperti itu
kepadamu,” jawabku.
“Paman.. apa engkau menginginkanku
jadi penghuni neraka?” tanyanya.
“A’udzubillah!! Sungguh, bukan
begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali karena lari
dari neraka dan memburu surga,” jawabku.
Lalu kata si bocah, “Sesungguhnya
Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, apabila
kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka
(mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya itu.” (QS. Al-Anfal: 15-16)
“Adakah Paman menginginkan aku
berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku adalah neraka?” tanya
si bocah.
Aku pun heran dengan kegigihannya
dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha
menjelaskan, “Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang kau katakan.”
Namun tetap saja ia bersikeras tak mau pindah ke belakang. Aku pun menarik
tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik
lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perang
pun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.
Dalam kancah pertempuran itu
terdengarlah derap kaki kuda, diirngi gemerincing pedang dan hujan panah, lalu
mulailah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau anyir darah tercium di
mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh tak bernyawa
tergeletak bersimbah darah.
Demi Allah, perang itu telah
menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan
dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan suhu
memuncak, seakan-akan ada tungku tanur yang menyala di atas kami.
Perang pun kian memuncak, kedua
pasukan bertempur habis-habisan hingga matahari tergelincir dan masuk waktu
zhuhur. Ketika itulah Allah berkenan menganugerahkan kemenangan bagi kaum
muslimin, dan pasukan Salib lari tunggang-langgang.
Setelah mereka terpukul mundur, aku
berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk menunaikan shalat zuhur.
Selepas shalat, mulailah masing-masing dari kita mencari sanak keluarganya di
antara para korban.
Sedangkan si bocah,, maka tak
seorang pun yang mencarinya atau menanyakan kabarnya. Maka kukatakan dalam
hati, “Aku harus mencarinya dan menyelidiki keadaannya, barangkali ia terbunuh,
terluka, atau jatuh dalam tawanan musuh?”
Aku pun mulai mencarinya di tengah
para korban, aku menoleh ke kanan dan ke kiri kalau-kalau ia terlihat olehku.
Di saat itulah aku mendengar ada suara lirih di belakangku yang mengatakan,
“Saudara-saudara.. tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari.. panggilkan
Abu Qudamah kemari.”
Aku menoleh ke arah suara tadi,
ternyata tubuh itu ialah tubuh si bocah dan ternyata puluhan tombak telah
menusuk tubuhnya. Ia babak belur terinjak pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar
darah segar. Dagingnya tercabik-cabik dan tulangnya remuk total.
Ia tergeletak seorang diri di tengah
padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat
tenagaku,
“Akulah Abu Qudamah..!! aku ada di
sampingmu..!!”
“Segala puji bagi Allah yang masih
menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik
wasiatku ini..!” kata si bocah.
Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi
Allah, tak kuasa menahan tangisku. Aku teringat akan segala kebaikannya,
sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan
dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan
kematian anaknya.
Aku menyingsingkan sebagian kainku
lalu mengusap darah yang menutup wajah polos itu. Ketika ia merasakan
sentuhanku ia berkata, “Paman.. usaplah darah dengan pakaianku, dan jangan kau
usap dengan pakaianmu.”
Demi Allah, aku tak kuasa menahan
tangisku dan tak tahu harus berbuat apa. Sesaat kemudian, bocah itu berkata
dengan suara lirih, “Paman.. berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti kau akan
kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah telah
menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan
maju dan pantang mundur. Sampaikan pula padanya jikalau Allah menakdirkanku
sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan paman-pamanku di
surga.
Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu
tak mempercayai ucapanku. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini,
karena bila ibu melihatnya ia akan yakin bahwa aku telah terbunuh, dan insya
Allah kami bertemu kembali di surga.
Paman.. setibanya engkau di rumahku,
akan kau dapati seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah
saudariku.. tak pernah aku masuk rumah kecuali ia sambut dengan keceriaan, dan
tak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia
sedemikian kaget ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia
akan kaget mendengar kematianku.
Ketika melihatku mengenakan pakaian
safar ia berkata dengan berat hati, “Kak.. jangan kau tinggalkan kami
lama-lama.. segeralah pulang..!!”
Paman.. jika engkau bertemu
dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang manis. Katakan kepadanya
bahwa kakakmu mengatakan, “Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu.”
Abu Qudamah melanjutkan, “Kemudian
bocah itu berusaha menguatkan dirinya, namun napas mulai sesak dan bicaranya
tak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,
“Paman.. demi Allah, mimpi itu
benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi Allah, saat ini aku
benar-benar sedang melihat al-mardhiyyah dan mencium bau
wanginya.”
Lalu bocah itu mulai sekarat,
dahinya berkeringat, napasnya tersengal-sengal dan kemudian wafat di
pangkuanku.”
Abu Qudamah berkata, “Maka
kulepaslah pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah
kantong, kemudian kukebumikan dia. Usai mengebumikannya, keinginan terbsesar ku
ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka aku pun kembali ke Raqqah. Aku
tak tahu siapa nama ibunya dan di mana rumah mereka.
Takkala aku menyusuri jalan-jalan di
Raqqah, tampak olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur
sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat
setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang yang baru datang
dari bepergian ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” kata lelaki
itu.
“Kalau begitu kakakku ada
bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tak kenal, siapa kakakmu..?”
kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua, dan
tanyanya.
“Akhi, Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada bersamamu?” tanya gadis
itu.
“Aku tak kenal siapa kakakmu,”
jawabnya sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang ketiga, keempat,
dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menanyakan saudaranya, gadis
itu menangis sambil tertunduk dan berkata,
“Mengapa mereka semua kembali tapi
kakakku tak kunjung kembali?”
Melihat ia seperti itu, aku pun
datang menghampirinya. Ketika ia melihat bekas-bekas safar padaku dan kantong
yang kubawa, ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari mana?
“Aku datang dari jihad,” jawabku.
“Kalau begitu kakakku ada
bersamamu?” tanyanya.
“Dimanakah ibumu?” tanyaku.
“Ibu ada di dalam rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya agar ia keluar
menemuiku,” perintahku kepadanya.
Ketika perempuan tua itu keluar, ia
menemuiku dengan wajah tertutup gaunnya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia
mendengar suaraku, ia bertanya,
“Hai Abu Qudamah, engkau datang
hendak berbela sungkawa atau memberi kabar gembira?”
Maka tanyaku, “Semoga Allah
merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang kau maksud dengan bela sungkawa dan
kabar gembira itu?”
“Jika kau hendak mengatakan bahwa
anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang mundur
berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena Allah telah
menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.
Namun jika engkau hendak mengatakan
bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawaghanimah, berarti engkau
datang untuk berbela sungkawa kepadaku, karena Allah belum berkenan menerima
hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya,” jelas si perempuan tua.
Maka kataku, “Kalau begitu aku
datang membawa kabar gembira untukmu. Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi
sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih
menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebagian
darahnya hingga ia ridha.”
“Tidak, kurasa engkau tidak berkata
jujur,” kata ibu sembari melirik kepada kantong yang kubawa, sedang puterinya
menatapku dengan seksama.
Maka kukeluarkanlah isi kantong
tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah.
Nampak serpihan wajah anaknya
berjatuhan dari kain itu, diikuti tetesan darah yang tercampur beberapa helai
rambutnya.
“Bukankah ini adalah pakaiannya..
dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya yang kau kenakan pada anakmu sewaktu
berangkat berjihad..?” kataku.
“Allahu Akbar..!!” teriak si ibu
kegirangan.
Adapun gadis kecil tadi, ia justru
berteriak histeris lalu jatuh terkulai tak sadarkan diri. Tak lama kemudian ia
mulai merintih, “Aakh..! aakh..!”
Sang ibu merasa cemas, ia bergegas
masuk ke dalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping
kepalanya, mengguyurkan air kepadanya,
Demi Allah, ia tak sedang merintih..
ia tak sedang memanggil-manggil kakaknya. Akan tetapi ia sedang sekarat!!
Napasnya semakin berat.. dadanya kembang kempis.. lalu perlahan rintihannya
terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.
Setelah puterinya tiada, ia
mendekapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku.
Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam,
“Ya Allah, aku telah merelakan
kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau
meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di Surga-Mu.”
Abu Qudamah berkata, “Maka kuketuk
pintu rumahnya dengan harapan ia membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah
uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya hingga kisahnya
menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tak membukakanku maupun menjawab
seruanku.
“Sungguh demi Allah, tak pernah
kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini,” kata Abu Qudamah mengakhiri
kisahnya.
Lihatlah, bagaimana si ibu
mengorbankan segala yang ia miliki demi menggapai kebahagiaan ukhrawi. Ia
perintahkan anaknya untuk berjihad fi sabilillah demi keridhaan Ilahi. Maka
bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan
demi keridhaan-Nya?
***
Sumber: Ibunda Para
Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakann Pertama Ramadhan
1427 H / Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar